SUKABUMIUPDATE.com - Kasus dugaan Bullying atau perundungan kepada L (10 tahun) siswa sekolah dasar (SD) swasta di Kota Sukabumi yang sempat viral di media sosial karena hingga patah tulang, kini memasuki babak baru setelah kasusnya sekian lama dihentikan.
Itu setelah pihak keluarga korban meminta adanya keadilan hukum dengan mengajukan gelar perkara khusus ke Mabes Polri, tak lama setelah laporan kedua dihentikan Polres Sukabumi Kota sebab tidak terpenuhinya alat bukti.
Sebelumnya, kasus bullying yang melibatkan anak dengan anak atau laporan pertama sudah inkrah saat penanganan di Polres Sukabumi Kota pada awal 2024 silam.
Kemudian, pihak keluarga korban yang didampingi kuasa hukumnya saat itu, kembali melaporkan dugaan atas adanya penganiayaan serta intimidasi yang dilakukan oleh orang dewasa di lingkungan sekolah.
Namun kasusnya dihentikan dengan ditandai adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada 8 Juli 2024 lalu dengan alasan tidak terpenuhinya unsur bukti-bukti yang mengarah terhadap para terlapor.
Baca Juga: Tak Cukup Alat Bukti, Polisi Setop Penyelidikan Kasus Bullying Siswa SD di Sukabumi
Kuasa hukum korban Hudi Yusuf menganggap, sejak awal proses hukum terhadap dua laporan kliennya mengenai kasus ini tidak berjalan dengan baik.
“Dari awal sejak ditangani di Polres Kota Sukabumi ada beberapa ganjalan buat kami. Pertama, pada saat pelakunya adalah anak. Pada saat usianya di bawah 12 tahun harus diselesaikan diversi supaya tidak mengarah kepada crime justice system, jadi diselesaikan secara restorative justice,” kata Hudi, Selasa (11/2/2025).
Diketahui, diversi adalah suatu upaya pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) Nomor 11 Tahun 2012.
Menurut Hudi, harusnya dalam penyelesaian perkara secara diversi itu melibatkan korban dan orang tuanya, tapi dalam penanganan perkara oleh Polres Sukabumi ini dirinya menyebut kliennya malah tidak dilibatkan.
“Sehingga hal ini langsung dilimpahkan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan. Kalau seperti ini kami sebagai korban keadilannya di mana? Dengan tidak melibatkan kami dalam proses diversi itu berarti kami tidak dapat keadilan yang diharapkan. Sehingga ini berat sebelah,” tuturnya.
“Seakan-akan hanya pelaku saja. Padahal di dalam diversi anak itu kedua-duanya itu musyawarah untuk mufakat tapi ini tidak dilibatkan,” tambahnya.
Bahkan ia mengganggap proses hukum laporan pertama tersebut cacat hukum. Hal itu karena dalam restorastive justice atau keadilan restorasi itu harusnya melibatkan semua pihak, yakni korban, pelaku dan masyarakat.
“Ini yang terlibat hanya pelaku saja. Tapi korban tidak ada, orang tua korban tidak ada. Keinginan orang tua korban tidak diakomodir di sini, tahu-tahu tiba-tiba ada putusan pengadilan,” jelasnya.
Baca Juga: Korban Alami Pendarahan Otak, Begini Kelanjutan Kasus Bullying Siswa SD di Sukabumi
Kemudian terkait laporan kedua, Hudi menyebut pihaknya merasa tak ada transparansi dari penyidik Polres Sukabumi Kota dalam menangani kasus dugaan kekerasan yang melibatkan orang dewasa tersebut. Ia bahkan geram usai mengetahui dalam proses gelar perkara tidak pernah melibatkan saksi-saksi yang diajukan dari pihak korban.
“Kita sebenarnya bukan cari menang kalah, tapi yang dicari itu keadilan fakta yang sebenarnya. Oleh karena itu akhirnya kami menolak hadir gelar perkara karena tidak mungkin berbuat apa-apa kalau saksinya sepihak,“ kata dia.
Oleh karena itu, pihaknya meminta agar proses penanganan perkara dugaan kekerasan oleh orang dewasa tersebut kembali dibuka dan dilakukan gelar perkara ulang oleh Mabes Polri.
Pengajuan gelar perkara khusus pun sudah pihaknya ajukan dan kini tinggal menunggu panggilan dari pihak Mabes Polri.
“Kami sudah persiapkan bukti-bukti, kami persiapkan saksi-saksi, agar gelar perkara khusus itu sesuai dengan kejadian yang sebenarnya. Agar SP3 itu bisa dibuka kembali tidak perlu pakai pra peradilan. Kalau dengan demikian kami punya apa? karena kewenangan memeriksa alat-alat bukti itu di sekolah kan di kepolisian. Kita kan ga mungkin datang-datang lihat CCTV,” jelasnya.
“Kami berharap gelar perkara khusus oleh Mabes Polri terhadap pelaku dewasa dan terhadap sekolahnya karena kan kejadiannya di sekolah,” tambahnya.
Sementara itu, orang tua korban, DS (44 tahun) mengaku banyak menemukan surat laporan pendampingan kasus yang tidak sesuai dengan realita yang dialami anaknya.
“Jadi isinya cenderung memojokkan kami sebagai korban bahkan memuji-muji pihak terlapor seolah-olah mereka proaktif merespons sebuah kejadian yang terjadi di sekolah padahal sebetulnya kejadiannya tidak seperti itu,“ ujarnya.
Adapun kondisi korban saat ini, DS menyebut kondisinya cenderung stabil namun masih perlu pendampingan secara intensif mengingat rasa traumatik yang masih membekas.
“Untuk kebutuhan kognitifnya (korban), ada guru pendamping setiap hari untuk pelajaran sekolah tapi lebih banyak ke ngaji karena itu yang disarankan oleh dokter rekam medis bahwa jangan ada momen aktivitas otaknya berhenti itu nanti kurang bagus,” ucapnya.
Terlebih untuk kebutuhan pendidikan korban, hingga saat ini belum mendapatkan pendidikan secara formal di Sekolah. “Dari sisi pendidikan ada home schooling tapi tidak official ya karena secara administrasinya masih terdaftar di sekolah lamanya sengaja kami tidak ingin memindahkan dari sana karena perkaranya kan belum selesai,” pungkasnya.
Editor : Denis Febrian