SUKABUMIUPDATE.com - Lebih dari seabad sebelum bencana ekologis menghantam sejumlah wilayah di Sumatera dan Aceh hari ini, Sukabumi sudah lebih dulu menyimpan jejak panjang kerentanan terhadap bencana. Arsip tahun 1930 mencatat bagaimana kawasan Tjipellangweg—kini masuk wilayah Kota Sukabumi—tenggelam oleh banjir setinggi setengah meter, setelah hujan deras. Nyaris setiap tahun peristiwa seperti ini berulang.
Dalam catatan sejarah, situasi banjir saat itu membuat ibu-ibu menaikkan roknya untuk melewati jalan Tjipellangweg sepanjang 100 meter, mulai rumah Pak Camonie hingga tuan Kipper. Mobil-mobil dengan susah payah melintas dan rumah-rumah di sudut Krommeweg-Tjipellang dibanjiri air, termasuk perkampungan Cipelang dan permukiman di koridor Cikiray.
Sementara dua rumah di Bentengweg terpaksa dikosongkan karena lokasinya yang rendah sehingga ikut terendam. Konon, ini terjadi akibat sungai yang mengalir dari atas Villa Berg en Dal tersumbat sehingga membanjiri wilayah Cipelang (Gede) hingga kawasan Benteng.
Pengamat sejarah Irman Firmansyah mengatakan, empat tahun berikutnya atau November 1934, terjadi pula banjir yang menggenang wilayah Bunut dengan aliran deras. Bencana ini menghanyutkan ikan-ikan yang banyak ditanam di beberapa kolam. Anak-anak kecil sibuk menangkapinya. Lalu di Ciaul terdapat genangan yang cukup tinggi, mengakibatkan perabotan rumah terapung. Polisi mengevakuasi sejumlah penghuni rumah karena terancam roboh.
Baca Juga: Kenangan Kelam Sukabumi 1930 Potret Haru Solidaritas di Tengah Bencana
"Di Krommeweg (jalan kebon cau) air mencapai ketinggian orang dewasa sehingga polisi melakukan pengawasan. Jalan raya ikut tergenang dan menyisakan endapan lumpur tebal keesokan harinya, padahal sudah dilakukan perbaikan gorong-gorong di sudut Wilhelmina dan Jalan Ciwangi," kata penulis buku Soekaboemi The Untold Story itu kepada sukabumiupdate.com, Senin (8/12/2025).
Tak hanya di kota, jauh sebelumnya, yakni 31 Oktober 1894, banjir menyebabkan endapan tanah akibat hujan di jalan antara Baros ke Nyalindung, Kabupaten Sukabumi sekarang. Beberapa jembatan rusak dan sebagian hanyut. Kemudian 1901, menurut laporan asisten residen Soekaboemi tanggal 15 dan 16 Juni, sejumlah tempat di distrik Tjitjoeroeg dilanda hujan lebat yang mengakibatkan bangunan dan sawah rusak, termasuk empat jembatan.
Pada 1906, tepatnya 28 Februari, jembatan di atas Cibatu di jalan menuju Palabuhanratu rusak total, menyebabkan masalah lau lintas karena ketinggian air yang mengganggu kendaraan. Kemudian Januari 1907 banjir terjadi karena hujan terus-menerus, terutama di sungai-sungai yang melalui Palabuhanratu, Cicareuh, Citarik, dan Cimandiri. Dari arah Cibadak menuju Palabuhanratu juga dua jembatan rusak dan wilayah di Bantargadung ikut terdampak.
"Mei 1913 Sungai Cidadap meluap di Desa Babakan Wareng, menyebabkan tiga orang tewas dan delapan hilang. Jalan Cijarian menuju Palabuhanratu pun rusak berat di tiga tempat sehingga lalu lintas diblokir. April 1921, banjir menyebabkan banyak endapan tanah, tidak jauh dari stasiun kereta api Cireunghas. Sebuah kampung terkubur tanah yang menyebabkan 24 orang tewas dan 60 hilang. Sungai Cimandiri juga banjir, menghancurkan jembatan besi menuju perkebunan dan Gunung Malang," kata Irman.
Namun banjir tidak menjadi satu-satunya bencana yang muncul akibat hujan. Bentuk lain terjadi pada November 1930: tanah longsor yang cukup parah. Salah satunya terjadi di perkebunan Kalapanunggal. Hujan selama enam jam menyebabkan longsor yang menewaskan 12 orang dan 25 warga hilang. Dua kompleks pondok di perkebunan Jayanegara juga diterjang kejadian serupa. Sebanyak 16 pondok terkubur dan sebagian hanyut oleh luapan Sungai Cibodas. Ada 25 orang yang meninggal.
Menurut Irman, saat itu bantuan sangat lambat karena terkendala dengan jalan dan jembatan yang rusak parah. Endapan tanah di mana-mana dan sebagian membendung sungai. "Di zaman Jepang pun terjadi hujan lebat disertai angin kencang, bahkan menimbulkan hujan es batu, bentuknya persegi empat dan rata-rata sebesar kerikil. Banyak genting yang patah, satu rumah di Kampung Nyomplong ikut roboh ditiup angin," ujarnya.
Editor : Oksa Bachtiar Camsyah