SUKABUMIUPDATE.com - Jampangkulon adalah salah satu kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Sukabumi, dengan luas 7285,79 hektar, memiliki 10 desa dan 1 kelurahan. Namun dari semua desa tersebut terdapat fakta menarik tentang asal usul nama Kampung Cinagen yang berada di Desa Nagraksari.
Berbicara mengenai nama daerah, setiap wilayah di Indonesia termasuk Sukabumi memiliki keunikan tersendiri yang mencerminkan nilai sejarah, budaya, maupun kondisi geografisnya. Namun nama-nama kampung di Jawa Barat khususnya di Sukabumi sering kali berasal dari bahasa lokal yang berkaitan dengan ciri khas yang menonjol di kawasan tersebut.
Seperti nama Kampung Cinagen di Desa Nagraksari, Kecamatan Jampangkulon, Kabupaten Sukabumi, yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Pajampangan. Terdengar biasa saja, tapi dibalik penamaan itu tersimpan arti dan sejarah yang tersimpan.
Baca Juga: Cerita Jampang Kulon Sukabumi, Distrik Independen di Zaman VOC
Saat ini, kawasan tersebut dikenal sebagai salah satu pusat pertokoan dan aktivitas perputaran ekonomi di wilayah Jampangkulon. Berbagai kebutuhan sandang-pangan-papan masyarakat tersedia di sepanjang deretan toko yang berdiri di kawasan tersebut.
Namun, di balik geliat ekonominya saat ini, nama Cinagen menyimpan kisah sejarah dan penafsiran yang berkembang di tengah masyarakat. Sebagian warga sempat mengaitkan nama Cinagen dengan cerita bahwa bangsa Tionghoa (Cina) tidak bisa masuk ke wilayah Jampangkulon dan hanya sampai di kawasan tersebut.
Penafsiran ini menyebutkan kata Cinagen berasal dari kata “Cina” dan “gen” dalam bahasa Sunda yang berarti berhenti. Meski demikian, tokoh masyarakat Pajampangan, Ki Kamaludin (75 tahun), menegaskan bahwa anggapan tersebut tidak sesuai dengan sejarah sebenarnya.
“Nama Cinagen sama sekali tidak berasal dari kata Cina. Itu hanya cerita yang berkembang belakangan,” ujar Ki Kamaludin kepada Sukabumiupdate.com, Rabu (17/12/2025).
Baca Juga: Bulan Baru Akhir Tahun Picu Ancaman Banjir Rob, Pesisir Sukabumi Ini Tanggalnya!
Menurutnya, asal-usul nama Cinagen bermula dari kondisi geografis wilayah tersebut sebelum tahun 1964. Saat itu, di lokasi yang kini menjadi kawasan pertokoan, terdapat sebuah lombang atau lubang besar yang digunakan sebagai tempat pembuangan sampah. Pada musim hujan, lubang tersebut dipenuhi air serapan atau cileuncang yang tidak mengalir.
“Airnya diam, tidak ada saluran. Dalam bahasa Sunda, nagen artinya cicing atau diam,” jelasnya.
Lubang tersebut berbentuk elips dengan diameter sekitar 12 hingga 14 meter dan cukup besar hingga mampu menampung sekitar 20 ekor kerbau untuk mandi (guyang munding). Meski musim kemarau panjang, air di dalam lubang tersebut masih bertahan, perlahan menyusut karena menguap.
Dari kondisi inilah, kata Cinagen berasal dari gabungan kata cai (air) dan nagen (diam/tidak bergerak), sehingga bermakna air yang tergenang dan tidak mengalir.
Di sekitar lubang tersebut juga terdapat tiga pohon sawo besar yang kerap dimanfaatkan warga sebagai tempat berteduh. Para pedagang maupun warga yang pulang dari Pasar Jampangkulon, yang kala itu berlokasi di dekat alun-alun, tepatnya di seberang Masjid Agung Jampangkulon, sering beristirahat di tempat tersebut.
“Orang-orang suka bilang, ‘yu urang reureuh di lebah Cinagen,’” tutur Ki Kamaludin.
Adapun keterkaitan dengan etnis Tionghoa, Ki Kamaludin menjelaskan bahwa peristiwa tersebut baru terjadi jauh setelah nama Cinagen dikenal masyarakat. Pada awal tahun 1966, pasca peristiwa G30S/PKI dan bertepatan dengan situasi politik nasional, terjadi pengusiran warga keturunan Tionghoa oleh massa KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) di beberapa wilayah, termasuk Cinagen dan Surade. Sejumlah toko milik warga Tionghoa saat itu dihancurkan.
Namun, ia menegaskan bahwa masyarakat Jampangkulon sejak awal tidak pernah mengaitkan nama Cinagen dengan etnis Tionghoa.
“Faktanya, di Jampangkulon memang tidak ada warga Cina. Di Surade pun, China baru ada sekitar tahun 1933, dikenal dengan sebutan Tuan Kaleci,” ungkapnya.
Pasar Jampangkulon sendiri mulai berkembang dan ramai sejak tahun 1920, jauh sebelum peristiwa politik tahun 1966.
"Kini, Kampung Cinagen telah bertransformasi menjadi kawasan perdagangan yang vital bagi perekonomian Jampangkulon. Meski wajahnya berubah, sejarah dan makna nama Cinagen tetap menjadi bagian penting dari identitas lokal yang patut dilestarikan dan diluruskan agar tidak terdistorsi oleh cerita yang keliru," tutup Ki Kamaludin.
Editor : Ikbal Juliansyah