SUKABUMIUPDATE.com - Proses penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dinilai belum sepenuhnya mencerminkan keseimbangan kepentingan antara pekerja dan pengusaha. Hal itu disampaikan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menyikapi dinamika pembahasan UMK di sejumlah daerah.
Ketua APINDO Jawa Barat, Ning Wahyu Astutik, menilai dinamika penetapan UMK kerap tidak lepas dari kepentingan politik, khususnya dalam forum Dewan Pengupahan. Ia menyoroti posisi unsur pengusaha yang sering berada dalam kondisi minoritas ketika keputusan diambil melalui mekanisme voting.
Menurut Ning, pembahasan upah idealnya berangkat dari pendekatan rasional dan objektif dengan mengacu pada regulasi, kondisi ekonomi, serta kemampuan riil dunia usaha. “Upah seharusnya dibahas secara objektif, mengacu pada undang-undang, kondisi ekonomi, serta kemampuan pengusaha. Pemerintah harus hadir sebagai penengah, bukan justru berpihak,” ujarnya kepada sukabumiupdate.com, Minggu (21/12/2025).
Meski demikian, Ning mengungkapkan bahwa pembahasan UMK di sejumlah daerah telah mencapai titik akhir. Untuk Kota Sukabumi, penetapan UMK disebut telah rampung dengan kenaikan sekitar 5,7 persen atau setara Rp174 ribu dari tahun sebelumnya.
Baca Juga: Kampoong Ecopreneur Bangun Masjid Eco Wakaf dan Tebar 1.000 Pohon Usai Banjir Sumatra
Kendati telah disepakati, APINDO tetap memberikan catatan agar kebijakan pengupahan ke depan lebih menekankan dialog yang setara antara pengusaha, pekerja, dan pemerintah, sehingga keputusan yang dihasilkan tidak memberatkan salah satu pihak.
Berbeda dengan Kota Sukabumi, penetapan UMK Kabupaten Sukabumi hingga kini masih belum menemui kesepakatan. APINDO menyebut perbedaan pandangan di internal Dewan Pengupahan masih menjadi hambatan dalam proses finalisasi.
Ketidakpastian tersebut, menurut APINDO, berdampak langsung pada dunia usaha. Perubahan regulasi pengupahan yang hampir terjadi setiap tahun dinilai menyulitkan pengusaha dalam menyusun perencanaan biaya operasional, terutama bagi sektor industri padat karya.
“Pengusaha membutuhkan kepastian. Setiap tahun aturan berubah dan besaran kenaikan sulit diprediksi. Tanpa visibilitas, dunia usaha kesulitan merencanakan keberlanjutan usaha dan tenaga kerja,” tegasnya.
APINDO menegaskan bahwa pihaknya tidak menolak adanya kenaikan UMK. Namun, kebijakan tersebut diharapkan ditetapkan secara rasional dan mempertimbangkan kondisi ekonomi nasional maupun daerah. “Intinya, kenaikan UMK jangan dipaksakan. Keputusan harus adil bagi pekerja dan tetap menjaga keberlangsungan usaha,” pungkas Ning.
Baca Juga: Marak OTT KPK, Saan Mustopa Minta Kepala Daerah Jadi Teladan Pemerintahan yang Bersih
Sementara itu, Ketua APINDO Kota Sukabumi, Ashady Sugiarto, memastikan bahwa penetapan UMK Kota Sukabumi tahun 2026 telah melalui tahapan pembahasan dan disepakati dalam rapat pleno Dewan Pengupahan Kota (Depeko). Ia menyebut kenaikan UMK ditetapkan sekitar 5,7 persen atau kurang lebih Rp174 ribu.
“Penetapan UMK Kota Sukabumi sudah melalui pembahasan dan kesepakatan bersama. Kenaikannya sekitar 5,7 persen atau kurang lebih Rp174 ribu,” ujarnya.
Menurut APINDO, kesepakatan tersebut menjadi titik temu antara kebutuhan pekerja untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemampuan dunia usaha dalam menjaga keberlangsungan usaha serta iklim investasi di Kota Sukabumi. Hasil pembahasan selanjutnya akan disampaikan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk ditindaklanjuti. “Selanjutnya kita akan sampaikan ke pemerintah provinsi atau Gubernur. Untuk di tindaklanjuti,” tutup Ashady.
Di sisi lain, Penasihat APINDO Kota Sukabumi, Dadang Kuswandi, menekankan bahwa penetapan UMK harus dilandasi sinergi yang kuat antara pengusaha, buruh, dan pemerintah. Menurutnya, UMK bukan sekadar angka, melainkan kebijakan strategis yang berdampak langsung terhadap kesejahteraan tenaga kerja dan keberlangsungan dunia usaha.
Ia menilai, proses penetapan UMK perlu mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif, mulai dari kebutuhan hidup layak pekerja, kondisi ekonomi daerah, hingga kemampuan pengusaha agar usaha tetap berjalan dan mampu menyerap tenaga kerja.
“Pengusaha, buruh, dan pemerintah harus berjalan bersama secara sinergis. Jika salah satu pihak berjalan sendiri, maka keseimbangan akan sulit tercapai. Tujuan akhirnya adalah buruh mendapatkan kesejahteraan, sementara iklim usaha tetap sehat dan berkelanjutan,” ujarnya.
Baca Juga: NasDem Kabupaten Sukabumi Panaskan Mesin Politik, Siap Rebut 10 Kursi DPRD
Dadang juga mengingatkan pentingnya menjaga stabilitas hubungan industrial. Penetapan UMK yang dilakukan secara bijak dan melalui musyawarah diyakini dapat meminimalkan potensi konflik serta menciptakan iklim kerja yang kondusif.
“Ketika UMK ditetapkan dengan pertimbangan yang matang dan melibatkan semua pihak, maka manfaatnya akan dirasakan bersama. Buruh sejahtera, pengusaha bertahan, dan ekonomi daerah dapat tumbuh secara berkelanjutan,” pungkasnya.
Editor : Syamsul Hidayat