SUKABUMIUPDATE.com - Keluarnya Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat tentang Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) tahun 2026 menuai kritik dari kalangan serikat pekerja.
Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK SPSI) Kabupaten Sukabumi menilai kebijakan tersebut menunjukkan rendahnya keberpihakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat terhadap kesejahteraan buruh.
Ketua FSP TSK SPSI Kabupaten Sukabumi, Mochammad Popon, menyampaikan kekecewaannya karena SK Gubernur Jawa Barat yang ditandatangani Gubernur Dedi Mulyadi tidak sejalan dengan rekomendasi yang telah disampaikan bupati dan wali kota. Menurutnya, rekomendasi tersebut seharusnya menjadi dasar utama dalam penetapan UMK dan UMSK.
Popon menuturkan, bupati dan wali kota dalam menyusun rekomendasi upah tentu telah melalui pertimbangan matang dan pembahasan di tingkat daerah. Karena itu, ia menilai tidak tepat jika rekomendasi tersebut justru diabaikan di tingkat provinsi.
“Mestinya Gubernur Jawa Barat menetapkan besaran UMK dan UMSK berdasarkan rekomendasi bupati dan wali kota, karena rekomendasi itu tidak mungkin dibuat secara asal-asalan,” kata Popon kepada Sukabumiupdate.com, Jumat (26/12/2025).
Baca Juga: Tok! UMK Kabupaten Sukabumi 2026 Sebesar Rp3.831.926
Ia menilai, kebijakan pengupahan yang kembali mengarah pada upah murah justru tidak menyentuh persoalan mendasar yang dihadapi Jawa Barat selama ini. Popon mengingatkan bahwa rendahnya upah minimum selama bertahun-tahun tidak membuat Jawa Barat keluar dari persoalan kemiskinan ekstrem dan tingginya angka pengangguran.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025, jumlah penduduk miskin di Jawa Barat tercatat mencapai 3,65 juta jiwa atau sekitar 7,02 persen, menempatkan Jawa Barat pada peringkat kedua tertinggi secara nasional di bawah Jawa Timur. Sementara itu, jumlah pengangguran di Jawa Barat juga menempati peringkat teratas secara nasional, yakni sekitar 1,8 juta jiwa atau 6,77 persen, yang secara persentase berada di urutan ketiga di bawah Papua Barat dan Papua.
“Ini sangat ironis, karena Jawa Barat berada di bawah provinsi baru dengan jumlah penduduk yang jauh lebih sedikit,” ujarnya.
Popon menilai, rendahnya upah buruh selama bertahun-tahun turut berkontribusi terhadap tingginya angka kemiskinan dan pengangguran terbuka di Jawa Barat. Upah yang rendah, kata dia, berdampak langsung pada rendahnya daya beli buruh dan tingkat konsumsi masyarakat, yang pada akhirnya turut memengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah.
Ia menegaskan, kebijakan upah murah tidak menjawab persoalan riil Jawa Barat, terutama tingginya tingkat pengangguran. Menurutnya, penyelesaian masalah pengangguran tidak seharusnya dilakukan dengan memiskinkan buruh melalui kebijakan upah murah.
Baca Juga: UMK Kota Sukabumi Rp3.192.807, Berlaku Mulai 1 Januari 2026
“Masalah pengangguran semestinya dijawab dengan terobosan kebijakan yang kreatif, seperti menciptakan alternatif lapangan pekerjaan, mendorong investasi, serta memberikan fasilitas dan insentif yang menarik,” ucapnya.
Popon menilai, upaya menjawab kemiskinan dan pengangguran dengan terus melanggengkan kebijakan upah murah selama puluhan tahun menunjukkan minimnya terobosan kebijakan di tingkat daerah.
“Sudah saatnya Jawa Barat menghentikan kebijakan upah murah yang memiskinkan buruh, karena faktanya kebijakan itu justru menempatkan Jawa Barat sebagai daerah termiskin kedua dan dengan jumlah pengangguran tertinggi secara nasional,” pungkasnya.
Editor : Ikbal Juliansyah