Sukabumi Update

Petisi Menolak Kenaikan Tarif KA Pangrango: Tidak Manusiawi

Kenaikan tarif Kereta Api (KA) Pangrango relasi Sukabumi-Bogor, terus menuai reaksi keras. Berbagai aksi penolakan terhadap kenaikan tarif KA pun bermunculan. Mulai dari berupa petisi, hingga aksi demonstrasi mahasiswa. Hendi Faizal atau akrab disapa Egon adalah salah satu penggagas Petisi Menolak Kenaikan Tarif KA Pangrango.

Egon bersama kawan-kawannya sesama pengguna transportasi KA Pangrango secara reguler, terus berupaya agar petisi membuahkan hasil.

Seperti apa pemaparannya? Simak wawancara Herlan Heryadie dari sukabumiupdate.com bersama pria yang berprofesi sebagai arsitek itu.

Apa yang melatarbelakangi Anda membuat Petisi Menolak Kenaikan Tarif KA Pangrango?

Dalam empat hingga lima tahun terakhir, KA relasi Sukabumi-Bogor hampir setiap tahun menaikan tarif. Pertama Rp35 ribu untuk Kelas Eksekutif dan Rp15 ribu untuk Kelas Ekonomi. Nah, jika dihitung hingga 4 September 2018, kenaikan untuk Kelas Eksekutif mengalami kenaikan sebesar 128 persen. Sementara untuk Kelas Ekonomi, Rp15 ribu menjadi Rp35 ribu, atau naik 133 persen.

Kenaikannya hampir setiap tahun dan sosialisasi dilakukan langsung oleh PT KAI. Namun, kenaikan terakhir sama sekali tidak ada sosialisasi oleh PT KAI. Bahkan, harga tiket untuk hari biasa dan akhir pekan itu berbeda. Saya tidak tahu alasan mengapa PT KAI memberlakukan dua tarif berbeda. Menurut penjelasan normatif PT KAI, KA Pangrango sebagai kereta komersil, bisa diberlakukan harga yang fluktuatif.

Menyambung dari pertanyaan, kenaikan secara sepihak ini yang melatarbelakangi kami membuat petisi. Bahkan, kabar terakhir, berdasarkan telegram yang diterima petugas PT KAI di sepanjang relasi KA Sukabumi-Bogor, baru mendapat kabar pada malam hari sebelum kenaikan. Dengan kenaikan ditengah kondisi yang semacam ini, saya rasa sangat memberatkan.

Saya asumsikan, untuk pengguna KA reguler, katakanlah warga Sukabumi yang bekerja di Bogor pulang pergi naik KA, dalam 22 hari kerja, sebelumnya cukup mengeluarkan uang Rp880 ribu per bulan dengan asumsi harga tiket Rp20-25 ribu. Dengan adanya kenaikan ini, ada tambahan Rp440 ribu, menjadi Rp1,32 juta per bulan.

Ini yang saya rasa tidak diperhatikan PT KAI, dan mendasari saya bersama teman-teman membuat petisi tersebut.

Sudah sampai sejauh mana perkembangan petisi tersebut?

Terus terang, di awal tujuan saya membuat petisi ini adalah semacam gerakan moral sebagai bentuk kritik atau protes kepada PT KAI. Sesuai dalam isi petisi tersebut, yang ditujukkan kepada Kementerian Perhubungan, PT KAI beserta jajaran direksi dan Kementerian BUMN, kami berharap bisa memberikan perhatian atas kenaikan tarif tersebut. Bahkan, bila perlu mencoba meralat kembali keputusan yang telah dibuat dan mengembalikan ke tarif semula.

Perkembangan terakhir, per 8 September 2018 sudah mencapai 624 penandatanganan petisi secara online. Memang tidak terlalu masif seperti petisi pertama tahun 2014 lalu, tapi kami cukup kaget melihat banyak yang menandatangani petisi secara online.

Dengan bantuan dari rekan-rekan media, jurnalis, mudah-mudahan variasi kritik yang kita lakukan semakin didengar dan masyarakat merasakan ada pembelaan yang kami lakukan.

Menyoal Kenaikan tarif, kenapa Anda menganggap hal itu tidak manusiawi?

Mengapa? Sudah jelas, untuk seorang pegawai negeri atau karyawan swasta, mereka harus mengeluarkan biaya tambahan sebesar Rp440 ribu per bulan. Seperti yang sudah saya jelaskan di awal tadi.

Saya sebut tidak manusiawi, ambil contoh begini, sekelas KA Argo Parahyangan relasi Jakarta-Bandung dengan jarak kurang lebih 200 kilometer, dikenakan tarif Rp130-140 ribu, yang mana kalau dihitung itu dua kali tarif KA Pangrango sebelumnya. Kita bandingkan saja, KA Pangrango hanya 55 kilometer saja.

Dengan penghitungan sederhana, KA Pangrango bila dihitung per kilometer sudah mematok harga fantastis. Belum kalau dilihat dari sisi kecepatan. Buat pengguna jasa KA, kecepatan adalah salah satu faktor penting yang berakibat pada waktu tempuh. Inilah yang kita sebut tidak manusiawi.

PT KAI sudah memberikan penjelasan soal kenaikan tarif, bagaimana tanggapan Anda?

Nah, ini jawaban PT KAI yang menurut kami tetap tidak manusiawi. Saya pernah membaca jawaban dari humas PT KAI bahwasanya harga yang ditetapkan sebesar Rp80 ribu untuk kelas eksekutif. Dan itu masih dibawah harga yang ditetapkan kementerian sebesar Rp90 ribu. Saya pikir ini bukan soal tarif batas atas atau bawah, tetapi soal kenaikan tarif dalam rentang waktu tertentu.

Jika berkaca pada Undang-undang BUMN, tentu PT KAI harus mencari keuntungan sebesar-besarnya. Tapi jangan lupa, dalam hal ini tetap masyarakat adalah prioritas utama. Adapun soal isu-isu lain, seperti kurs Dolar terhadap Rupiah misalnya, atau bahkan katanya untuk biaya pembangunan rel ganda, saya rasa itu hanya isu yang tidak berdasar.

Jika memang ada kerugian, atau istilahnya PT KAI harus nombok akibat KA relasi Sukabumi-Cianjur yang masih disubsidi sebesar 40 persen, melihat cakupan PT KAI secara nasional, harusnya itu bisa ditutup oleh relasi lain, pada KA jarak jauh yang secara psikologis tidak akan terlalu terasa kenaikannya.

Menurut Anda, seberapa besar peran KA untuk masyarakat Sukabumi?

Terus terang peran KA untuk masyarakat Sukabumi dalam lima tahun terakhir ini cukup besar. Bahkan menjadi satu-satunya alternatif transportasi yang bisa diandalkan. Mengingat jalur darat lainnya seperti bus elf atau angkutan lainnya, bahkan kendaraan pribadi sangat tidak efisien.

Ada anggapan di kalangan pengguna commuter, bahwa orang waras naik kereta api. Nah, ini diperkuat dengan melihat jalur Sukabumi. Disaat jalur tempuh Sukabumi-Bogor 50-60 kilometer memakan waktu tempuh di atas 3-4 jam menggunakan bus atau kendaraan pribadi. Sudah diketahui bagaimana kepadatan lalulintas di jalur Sukabumi-Bogor. Nah, di tengah itu keberadaan KA menjadi satu-satunya pilihan yang ada.

Bukannya tiket kelas ekonomi masih bisa dijangkau?

Ini bukan soal tiket kelas ekonomi bisa dijangkau atau tidak. Ini tidak fair jika memandang harga tiket ekonomi Rp35 ribu dan tiket eksekutif Rp80 ribu. Satuan angka sangat relatif. Mungkin bagi seseorang, Rp80 ribu itu masih murah. Tapi di sisi lain, bisa juga tarif Rp35 ribu termasuk mahal.

Tidak sesederhana itu. Artinya, yang saya lihat disini telah terjadi kenaikan mulai dari 128 persen hingga 133 persen. Kenaikan terjadi hampir setiap tahun. Tadi saya sudah berikan gambaran di awal.

Apabila petisi tak dihiraukan, selanjutnya langkah apa yang akan Anda lakukan?

Bukan soal bagaimana petisi dibuat, dihiraukan atau tidak dihiraukan. Paling tidak, dengan bermunculan berita di media, hal ini merupakan bentuk resistensi atau penolakan yang harus didengar oleh PT KAI, Daop 1, termasuk oleh Pak Menteri Perhubungan sendiri. Saya pikir ini langkah yang kontraproduktif dari PT KAI, jika tidak bisa disebut blunder.

Mengapa? Pemerintah sendiri sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan infrastruktur di Sukabumi. Dari mulai jalan tol, double track, bahkan hingga bandara. Tapi tiba-tiba PT KAI menaikan tarif. Ini terus terang sudah kontraproduktif. PT KAI sebagai bagian dari Kementerian BUMN yang merupakan bagian dari Kabinet Kerja dengan Presiden Jokowi, harusnya bisa bekerja seirama.

Saya ingin dan berharap para Direksi PT KAI, bahkan pejabat di Daop 1, syukur-syukur Pak Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi bisa mendengar. Agar mereka tidak semena-mena lagi, atau tidak mengeksploitasi kami. Kalaupun akan ada kenaikan tarif, harusnya mereka berpikir mesti ada take and give. Ketika mereka mengambil biaya pengeluaran dari kami, harusnya mereka memberikan sesuatu kepada kami. Dalam artian ada peningkatan pelayanan dan peningkatan kualitas fisik.

Adapun kalau memang tidak kunjung dihiraukan, kami sudah siapkan beberapa langkah lain yang tidak bisa diungkapkan pada kesempatan kali ini. Paling kami ingin melihat dulu, ada framing waktu yang kami siapkan untuk melihat sejauh mana petisi ini berhasil. Tentunya dengan didukung oleh pemberitaan-pemberitaan di media.

Editor : Andri Somantri

Tags :
BERITA TERPOPULER
BERITA TERKINI